Perjalanan Spiritual Seorang Mualaf, Ingin melihat Tuhan
INGIN MELIHAT TUHAN . 2
Pada saat masih kecil, saya merasa yakin kalau Tuhan itu tidak ada karena saya tidak bisa melihat-Nya. Namun begitu, sebenarnya saya juga terbuka untuk menerima bukti-bukti keberadaan-Nya jika memang ada. Saya banyak bertanya tentang agama yang saya ketahui, yaitu agama Katolik. Sayangnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab dengan baik dan justru membuat saya lebih bingung dari sebelumnya. Karena tidak ada bukti yang memuaskan, maka saya merasa terpaksa untuk tidak percaya kepada Tuhan.
Saya sering memperhatikan bagaimana orang-orang dewasa menghadapi suatu kejadian yang menyedihkan, misalnya saja saat seorang anak meninggal atau saat seseorang divonis menderita kanker. Orang dewasa seringkali menyatakan bahwa semua itu harus diterima dengan pasrah. Caranya dengan mengucapkan “God works in mysterious ways” (Tuhan bertindak dengan cara yang misterius), yang artinya kita tidak mungkin bisa memahami apa yang dilakukan oleh Tuhan, dan bertanya-tanya tentang hal itu hanya membuang waktu saja. Tuhan itu misterius dan kita tidak dapat memahami-Nya.
Lalu kalau Tuhan memang misterius, kenapa Dia memberikan akal pikiran kepada kita? Dengan kecerdasan dan kemampuan untuk berpikir logis, tentunya akan sangat masuk akal jika kita menggunakan kelebihan itu untuk memikirkan Tuhan. Seharusnya ada suatu ajaran dasar di dalam agama yang bisa ditelaah dan memang masuk akal. Kalau Tuhan memang ada, untuk apa Dia memberi ajaran-ajaran agama kepada manusia lalu membuat agama tersebut sulit dipahami secara akal?
Apakah Tuhan harus “misterius” jika Dia tidak menghendakinya? Dalam hal agama, bukankah Tuhan mampu menerima dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ciptaaan-Nya sendiri jika Dia berkehendak? Bagaimana jika sebenarnya Tuhan ingin agar kita mengenal-Nya (dalam batasan pemahaman kita tentunya) sehingga kita dapat menjadi lebih dekat dengan-Nya? Bagaimana jika Dia tidak menginginkan kita menganggap-Nya “misterius”?
Tidak disangsikan lagi, Tuhan itu tidak nampak bagi kita dan karenanya saya yakin jika kita menganalisa hal ini dengan seksama, boleh jadi kita akan menemukan suatu alasan logis mengapa Tuhan memilih untuk tidak menampakkan diri-Nya. Jika kita mampu menerima alasan ini, maka mungkin kita akan mampu memahami bahwa semua itu adalah untuk kebaikan kita sendiri dan bukan karena alasan-alasan “misterius”.
Dalam bab ini, saya ingin memberikan satu penjelasan yang logis mengenai kenapa Tuhan tidak ingin terlihat oleh kita, dan bagaimana hal itu merupakan rahmat bagi kita. Untuk membahas ini, kita harus mencermati kisah Nabi Adam as, manusia pertama yang diciptakan Allah, dan juga kisah Iblis. Sebelumnya, kita perlu membahas Nabi Musa as yang juga ingin melihat Allah.
2.1. Nabi Musa as Juga Ingin Melihat Tuhan
Saya sering mendengarkan penceramah Muslim di Indonesia bercerita tentang Nabi Musa as yang memohon untuk dapat melihat Allah. Dijelaskan kepada Nabi Musa as bahwa dia tidak akan sanggup melihat Tuhannya. Allah dapat saja berhenti sampai pada pernyataan itu, namun ternyata Allah berkehendak lain dan memberikan “bukti” kepada Nabi Musa as. Allah kemudian menampakkan diri di belakang sebuah gunung. Saat cahaya Allah mulai terlihat, gunung itu hancur luluh karena tidak sanggup menahan cahaya-Nya. Begitupun halnya dengan Nabi Musa as yang jatuh pingsan karena tidak sanggup melihat cahaya-Nya, seperti yang dijelaskan dalam Al Qur’an:
143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf 7:143)
Ayat ini memberikan kita suatu pemahaman bahwa manusia, termasuk Nabi, tidak boleh melihat Tuhan. Jika seorang Nabi Allah seperti Nabi Musa as saja tidak sanggup melihat Allah, manusia biasa seperti kita lebih tidak mungkin lagi berharap dapat melihat-Nya. Terlepas dari ketidaksanggupannya melihat Allah, kita mengetahui bahwa Nabi Musa as sanggup berdialog dengan-Nya. Selain Nabi Musa as , mahluk lain yang juga pernah berdialog dengan Allah adalah Iblis.
2.2. Kutukan Allah Atas Iblis
11. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.
12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab Iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
13. Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".
(QS. Al A’raf 7:11-13) [Penekanan Arti]
Dalam ayat-ayat ini kita diperkenalkan dengan suatu mahluk yang menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Mahluk ini dinamakan Iblis atau Shaitan di dalam Al Qur’an. Dalam bahasa Inggris, mahluk ini dikenal dengan sebutan the Devil, Satan, Lucifer, dan lain-lain. Dalam ayat-ayat di atas, kita dapat melihat sebuah situasi bagaimana Iblis membantah Allah dan menolak Perintah Langsung-Nya untuk bersujud dan menunjukkan rasa hormat kepada Nabi Adam as. Dengan begitu, penolakan atas perintah Allah yang dilakukan Iblis merupakan tindakan kesombongan yang sangat terhadap Allah SWT, dan inilah alasan mengapa Iblis mendapat hukuman.
34. Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk,
35. dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat".
(QS. Al Hijr 15:34-35)
Dengan menolak perintah-Nya, Iblis menjadi mahluk pertama yang dikutuk untuk selama-lamanya. Kejadian ini sangat istimewa karena ini pertama kali (sepanjang pengetahuan kita) bahwa ada mahluk yang dikutuk untuk selama-lamanya. Dan sekali lagi kejadian ini juga istimewa karena pengutukan sepanjang masa ini juga tidak terulang lagi di dalam Al Qur’an. Ayat di atas hanya menyebutkan kutukan Allah sampai dengan Hari Kebangkitan, tetapi setelah itu, Iblis akan dilemparkan ke dalam neraka (bersama dengan siapapun yang mengikutinya) sehingga kutukan dan hukumannya akan menjadi abadi.
Pertanyaan yang relevan adalah kenapa Iblis langsung mendapatkan kutukan dari Allah dan kemudian hukuman dari Allah itu ditangguhkan sampai hari kiamat? Pada saat dinyatakan sebagai mahluk yang terkutuk, sangat menarik bahwa Iblis tidak protes. Dia tidak menuduh bahwa Tuhan tidak adil. Tidak ada bantahan Iblis di dalam Al Qur’an bahwa dia tidak bersalah dan tidak pantas mendapat hukuman yang begitu berat. Kalau seorang manusia mendapat hukuman yang sama, saya pikir siapa saja pasti akan protes dan mencari jalan keluar dari hukuman tersebut. Sebaliknya, Iblis ternyata langsung menerima hukumannya, tetapi dengan meminta agar hukuman itu ditangguhkan sampai hari kiamat supaya ada waktu untuk menyesatkan manusia dan membuktikan bahwa ia lebih baik dari manusia.
14. Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".
15. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."
16. Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
17. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).
18. Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya".
(QS. Al A’raf 7:14-18)
Yang jelas, sekarang Iblis mempunyai keinginan dengan cara apapun untuk mengajak bani Adam mengikutinya masuk neraka, supaya dia bisa membuktikan kepada Allah SWT bahwa dia memang lebih baik daripada Adam as. Sekarang, ada suatu keadaan yang menarik. Allah telah mengutuk Iblis, tetapi alih-alih langsung melemparkannya ke dalam neraka, Allah malah memberikan waktu kepadanya untuk menyesatkan manusia yang mau mengikutinya.
Jika kita meyakini Allah selalu mengetahui semua hal yang akan terjadi, berarti Allah juga mengetahui kalau Iblis akan menunjukkan kesombongannya, menjadi mahluk terkutuk, dan kemudian akan diberi waktu untuk menyesatkan manusia yang mau mengikutinya. Jika hal itu memang benar, berarti kita harus menerima kenyataan bahwa keberadaan Iblis beserta para pengikutnya, dan pengaruh mereka terhadap manusia adalah suatu hal yang telah diketahui Allah sebelumnya, dan Allah membiarkan hal itu terjadi atas kehendak-Nya. (Allah tidak menyebabkan Iblis membangkang, tetapi hanya membiarkannya terjadi). Kita harus meyakini bahwa semua kejadian hanya dapat berlangsung sesuai dengan Izin Allah. Jika Allah tidak berkehendak, maka bagaimana mungkin suatu hal dapat terjadi? Jika sesuatu bisa terjadi terjadi tanpa Izin Allah, berarti Allah bukan Yang Maha Kuasa, tetapi kita semua mengetahui Dia lah yang Maha Kuasa.
29. Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Ali Imran 3:29)
Jadi, di dalam sorga ada Nabi Adam as bersama Hawa, dan juga Iblis! Iblis (yang setelah dikutuk disebut sebagai Shaitan dalam Al Qur'an) tidak lagi memiliki tujuan hidup kecuali menyesatkan keturunan bani Adam agar sebanyak mungkin akan menemaninya masuk neraka. Dengan Izin Allah (karena tidak mungkin terjadi tanpa Izin Allah) Iblis bisa masuk sorga untuk mengganggu Adam as dan Hawa, dan dia berhasil. Dia meyakinkan mereka untuk makan buah yang terlarang, yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari sorga dan ditempatkan di bumi.
35. Dan Kami berfirman:"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
36. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:"Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
(QS. Al Baqarah 2:35-36)
Dalam kasus ini, Iblis hanya melakukan satu kesalahan saja dan sebagai akibatnya, dia dikutuk sepanjang masa. Kesalahan Nabi Adam as dan Siti Hawa juga hanya satu, dan sebagai akibatnya mereka dikeluarkan dari sorga tapi tidak dikutuk sepanjang masa. Kenapa ada perbedaan seperti itu di dalam kedua kasus ini?
Mungkin satu hal yang mempengaruhi hukuman dari Allah ini adalah kenyataan bahwa hanya Iblis yang membantah Allah. Pada saat Adam as dan Hawa diberitahu kalau mereka telah berbuat salah, mereka langsung bertaubat dan mohon ampunan. Sebaliknya, Iblis tidak mau bertaubat dan tidak juga meminta ampunan.
37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(QS. Al Baqarah 2:37)
Maka sekarang kita dapat melihat dua kasus yang jelas dimana Adam as dan Iblis masing-masing membuat satu kesalahan dan mereka dihukum karena kesalahan itu, meskipun Iblis dihukum dengan lebih berat. Untuk dapat memahami
bagaimana hal ini berkaitan dengan topik yang tengah dibahas, yaitu mengapa Allah tidak nampak bagi kita untuk suatu alasan logis, maka kita juga perlu menguji satu kasus lagi; kasus pembunuh 100 orang yang mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya.
2.3. Iblis, Nabi Adam as, Dan Pembunuh 100 Orang.
Ada sebuah hadith yang menceritakan riwayat seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang akan tetapi pada saat dia meninggal, dia sudah berniat untuk bertaubat dan memperbaiki diri, maka dosanya diampuni.
Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri:
Nabi bersabda, “Di antara kaum lelaki Bani Israel ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Lalu dia berjalan dan bertanya kepada orang yang dijumpai (apakah taubatnya bisa diterima atau tidak). Dia menemukan seorang biarawan dan bertanya kepadanya apakah taubatnya bisa diterima. Si biarawan memberi jawaban yang negatif, jadi pria itu membunuhnya. Dia bertanya terus sampai ada seseorang yang menasehatinya untuk pergi ke sebuah desa. (Lalu dia berangkat ke arah desa tersebut) tetapi kematian menjumpainya dalam perjalanan itu. Pada saat akan meninggal dunia, dia membalikkan dadanya ke arah desa tersebut (di mana dia berharap taubatnya akan diterima), maka malaikat pencatat kebaikan dan malaikat pencatat keburukan bertengkar tentang si pembunuh. Allah perintahkan desa (yang dia tuju itu) untuk mendekatkan diri kepadanya, dan perintahkan desa (yang dia tinggalkan) untuk menjauhinya. Lalu Allah perintahkan para malaikat untuk mengukur jarak antara badan orang itu dan kedua desa tersebut. Apakah lebih dekat ke desa pertama ataukah lebih dekat ke desa kedua. Diketahui bahwa dia sedikit lebih dekat ke desa (yang dia tuju). Jadi dia diampuni.
(Sahih Bukhari, Jilid 4, Buku 56, Nomor 676)[1]
Pertanyaan pentingnya, mengapa seorang manusia yang telah membunuh 100 orang bisa mendapatkan pengampunan atas dosanya? Diampuni oleh Allah berarti taubatnya diterima, dan dia tidak akan dihukum atas dosa tersebut. Padahal dua orang sebelumnya (Adam dan Hawa) yang hanya makan “satu buah” tetap dihukum atas dosanya walaupun telah diampuni. Lalu, satu mahluk yang hanya “membantah” tidak diampuni dosanya, dan tetap dihukum dengan hukuman yang sangat berat. Yang jelas, si pembunuh itu belum sempat bertaubat (secara formal), karena dia sedang mencari sebuah tempat dimana taubatnya akan diterima. Akan tetapi, dia sangat mengharapkan ampunan dari Allah. Nabi Adam as memang bertaubat dan taubatnya diterima, tetapi dia masih kena hukuman. Iblis tidak bertaubat dan sepertinya tidak ingin bertaubat. Dia kena hukuman yang paling keras dari tiga kasus ini. Jadi apa perbedaan antara ketiga individu ini?
Ketiga kasus terpisah ini kini dibagi menjadi dua kategori yang berbeda. Di satu sisi, ada seorang pembunuh yang dosa-dosanya diampuni dan tidak menerima hukuman apapun. Di sisi yang lain, ada Nabi Adam as dan Iblis yang keduanya menerima hukuman atas masing-masing satu perbuatan dosa yang mereka lakukan, meskipun dosa mereka itu tidak seberat dosa membunuh.
Jika kita ingin mencari satu alasan logis mengapa kita tidak bisa melihat Allah, maka saya yakin alasan itu dapat ditemukan dengan membandingkan kedua kategori ini. Kita perlu menemukan satu alasan mengapa seorang pembunuh dapat terbebas dari hukuman setelah membunuh 100 orang, kemudian mengapa Nabi Adam as dan Iblis yang masing-masing hanya melakukan satu perbuatan dosa tetap mendapatkan hukuman dari Allah.
2.4. Tuhan Tidak Nampak
Saya ingin bertanya kenapa Nabi Adam as dihukum, Iblis dihukum, tetapi seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang tidak dihukum? Perbedaannya hanya satu: si pembunuh itu tidak memiliki bukti bahwa Tuhan benar-benar ada! Dia tidak pernah melihat Allah atau berbicara dengan-Nya. Sebaliknya, Nabi Adam as dan Iblis memang berbicara dengan Allah. Pembunuh itu percaya kepada Tuhan hanya berdasarkan pada keimanan, yang berarti dia percaya walaupun tidak melihat (dan tentu saja tidak bicara dengan Tuhan).
Apakah Adam dan Iblis percaya kepada Allah karena mereka melihatnya? Secara teoretis, kita bisa berargumentasi bahwa ada kemungkinan Adam dan Iblis melihat Allah dengan penglihatan matanya, tetapi teori ini bisa diragukan oleh karena ayat yang terkutip di atas, di mana Nabi Musa as memohon untuk melihat Allah, tetapi pada saat Allah menampakkan Diri di belakang sebuah gunung, maka gunung luluh dan Nabi Musa as jatuh pingsan (lihat QS. Al A’raf 7:143). Kalau Nabi Musa as tidak sanggup melihat Allah, maka kita bisa berargumentasi bahwa seharusnya Nabi Adam as dan Iblis juga tidak sanggup.
Sebuah hadith yang lain juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah melihat Allah dengan matanya sendiri sebagaimana berikut:
Diriwayatkan oleh Masruq:
Saya sedang istirahat di rumah A’ishah ketika dia mengatakan: “Wahai Abu A’ishah [nama kehormatan untuk Masruq], ada tiga perkara yang, bilamana ada seseorang yang membenarkannya, maka dia telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah. Saya bertanya apakah tiga perkara itu. Dia menyatakan: Dia yang menganggap bahwa Muhammad saw melihat Tuhannya (dengan penglihatan matanya) telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah…”
(Sahih Muslim, Nomor 259) [2] [Penekanan Arti]
Kalau Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw tidak pernah melihat Allah dengan matanya, maka sangat wajar kalau kita berasumsi bahwa mahluk terlaknat seperti Iblis juga tidak bisa melihat-Nya. Berdasarkan pada informasi ini, kita bisa beranggapan bahwa sangat kecil kemungkinan Nabi Adam as dan Iblis melihat Allah. Akan tetapi, yang jelas sekali adalah mereka berbicara dengan Allah. Di Surah Al A’raf (QS. 7:22-23), Nabi Adam as berbicara langsung dengan Allah untuk mohon ampun kepada-Nya atas kesalahannya memakan buah terlarang. Di dalam Surah Al A’raf (QS. 7:11-16) juga terdapat dialog antara Allah SWT dan Iblis.
Oleh karena Nabi Adam as dan Iblis pernah berdialog secara langsung dengan Allah, maka sangat jelas bahwa tidak ada keraguan dalam diri mereka bahwa Tuhan itu memang ada. Mereka percaya kepada Allah tidak didasarkan keyakinan atau keimanan saja. Mereka percaya kepada Allah karena mereka telah mendapatkan bukti bahwa Allah Yang Maha Esa memang ada. Pengetahuan ini menempatkan mereka pada posisi yang sangat istimewa dan mungkin bisa membuat kita iri. Bagaimanapun juga, kita harus melihat konsekuensi yang timbul dari keistimewaan ini. Nabi Adam as dan Iblis percaya pada Allah dan keduanya tidak patuh pada-Nya. Nabi Adam as mengakui kesalahannya dan dikeluarkan dari sorga sebagai hukumannya. Sementara Iblis tidak memilih untuk mengakui kesalahannya dan tidak meminta ampun sehingga ia dikutuk sampai akhir zaman.
Sebagai perbandingan, si pembunuh 100 orang berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal ampunan. Dia harus percaya kepada Allah SWT dan percaya pada ampunan Allah didasarkan pada keimanan, bukan karena ada bukti nyata di depan mata bahwa Allah memang ada. Hal ini membuka kemungkinan dan kesempatan yang lebih besar bagi dia untuk mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang diperbuatnya. Sepanjang hidupnya, si pembunuh tidak mengenal Tuhan, mungkin karena dia tidak percaya pada Tuhan. Dia melakukan kejahatan karena dia tidak menyadari keberadaan Tuhan atau apa yang sang Pencipta inginkan darinya. Ketika akhirnya dia menjadi sanggup percaya, semata-mata berdasarkan keimanannya, dia meyakini Tuhan Yang Maha Kuasa akan menerima taubatnya dan mengampuni segala dosanya. Dia tidak melihat Tuhan ataupun berbicara dengan-Nya. Mungkin sebagai hasil dari “keimanannya” itu, dia menemukan Allah sebagai Sang Maha Pengampun.
Tidak ada jaminan bila kita dapat melihat Allah maka kita akan setuju untuk menyembah-Nya. Hanya karena melihat dan mengetahui bahwa Dia ada tidak berarti bahwa kita akan setia. Pada saat ini, kita percaya pada Allah, tetapi percaya bahwa Allah memang “ada” tidak berarti kita akan langsung menuruti-Nya dan masuk sorga dengan mudah. Sebagai contoh, Iblis juga percaya pada Allah tetapi dia tidak setia dan tidak mau beribadah kepada-Nya. Jika kita bisa melihat Allah, ada kemungkinan kita akan seperti Iblis (membantah dengan Allah) dan kesempatan untuk mendapat pengampunan atas dosa-dosa kita akan menjadi kecil sekali.
Apakah anda benar-benar mau melihat Allah? Atau mendengarkan suara-Nya? Saya tidak mau dan tidak ingin lagi. Tidak ingin lagi melihat-Nya jika itu berarti saya akan mendapatkan masalah besar karena satu perbuatan dosa.
Saat masih kecil, saya ingin sekali melihat Tuhan sebagai bukti bahwa Tuhan itu nyata, dan tampaknya saya bukanlah satu-satunya orang yang ingin melihat Tuhan secara langsung. Orang-orang yang tidak beriman yang menolak Nabi Muhammad saw juga menuntut hal yang sama:
90. Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami,
91. atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya,
92. atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami.
93. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca." Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?"
(QS. Al Isra 17:90-93) [Penekanan Arti]
Kalau seandainya keinginan saya dari waktu kecil terwujud, dan sudah pernah melihat Allah (setelah Dia menampakkan Diri) atau setidaknya telah mendengar Suara-Nya, maka saya sudah menjadi seorang manusia yang masuk kategori yang sama dengan Nabi Adam as. Masuk ke dalam kategori itu mengandung konsekuensi yang sangat jelas: sekali berbuat salah, langsung kena hukuman berat. Sebagai seorang manusia biasa, saya memang melakukan dosa terus, dan dosa saya bertambah setiap saat, tanpa terasa. Berarti kalau saya masuk kategori Nabi Adam as maka saya ragu masih bisa hidup sampai sekarang ini tanpa menghadapi masalah besar; sudah pasti saya telah dijatuhi hukuman berat disebabkan dosa-dosa yang telah saya perbuat.
Lebih jauh, jika saya masuk kedalam kategori Nabi Adam as dan Allah menjadi marah kepada saya disebabkan dosa pertama saya, apakah saya akan sama seperti Nabi Adam as yang langsung bertaubat dan mohon ampunan? Atau apakah saya akan lebih mirip Iblis dan berprotes? Kalau saya mengikuti sikap sombong Iblis, akankah hukuman yang saya terima sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Iblis – dilaknat sampai hari kiamat?
Kita semua sibuk mengumpulkan dosa setiap hari, tetapi berapa banyak dari kita yang bertaubat setiap hari? Bayangkan sekali berbohong, sekali mengingkari janji, sekali mengambil sesuatu tanpa hak, sekali memfitnah orang, sekali melakukan sesuatu yang tidak diridhoi Allah. Apakah itu sudah cukup untuk membuat kita terkena masalah? Jika kita bisa melihat Allah dan mendengar Suara-Nya setiap waktu, kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa Allah memang ada. Apakah anda ingin melihat Allah jika hal itu berarti anda akan mendapatkan hukuman langsung hanya untuk satu dosa yang anda perbuat? Saya tidak mau!
Kalau kita membandingkan kasus Nabi Adam as, Iblis, dan si pembunuh, apa yang dapat kita simpulkan? Nampaknya jika kita tidak bisa melihat Allah dan tidak dapat berbicara secara langsung dengan-Nya, maka kita ada di posisi yang lebih baik dibandingkan mereka yang dapat melihat-Nya atau berbicara dengan-Nya. Sepertinya, Allah lebih siap mengampuni orang yang hanya sebatas percaya kepada-Nya daripada orang yang mengetahui bahwa Allah benar-benar ada (karena pernah mendapatkan bukti nyata). Kalau ada seseorang yang pernah berbicara dengan Allah, maka orang itu sudah mengetahui Kebesaran dan Keesaan Allah. Orang itu sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menuruti Perintah Allah dan selanjutnya, orang itu juga akan mendapatkan kemurkaan yang lebih besar ketika melakukan satu dosa dibanding mereka yang hanya percaya karena keimanannya.
Jika kita beriman walaupun belum pernah melihat Allah atau mendengarkan suara-Nya, maka kita masih bisa beralasan atas perbuatan-perbuatan kita yang kurang baik: saya lupa, saya sibuk, uang saya kurang, saya belum bisa, lagi hujan, besok saja, nanti malam, dan seterusnya. Dan kita mendapatkan pengampunan yang tidak terbatas di sisi Tuhan kita, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, bagi kita yang hanya percaya kepada-Nya.
53. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Az-Zumar 39:53) [Penekanan Arti]
Kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat Allah merupakan suatu nikmat dan rahmat besar bagi kita sebagai manusia biasa yang banyak berbuat dosa setiap hari. Sebab, kalau kita bisa melihat Allah, sanksinya akan sangat berat. Barangkali kesempatan kita untuk berbuat dosa hanya satu kali saja, dan setelah itu kita akan dihukum dengan hukuman yang terasa sangat berat bagi kita. Justru karena Allah menyayangi kita, Dia tidak menampakkan Diri kepada kita dan kita harus percaya. Dengan demikian, dosa kita yang sungguh banyak bisa terus diampuni dan Dia selalu memberikan kita sebuah kesempatan baru untuk memperbaiki diri. Selama kita masih percaya kepada-Nya!
Wassalam
Gene
sumber : semuabisnis.com
INGIN MELIHAT TUHAN . 2
Pada saat masih kecil, saya merasa yakin kalau Tuhan itu tidak ada karena saya tidak bisa melihat-Nya. Namun begitu, sebenarnya saya juga terbuka untuk menerima bukti-bukti keberadaan-Nya jika memang ada. Saya banyak bertanya tentang agama yang saya ketahui, yaitu agama Katolik. Sayangnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab dengan baik dan justru membuat saya lebih bingung dari sebelumnya. Karena tidak ada bukti yang memuaskan, maka saya merasa terpaksa untuk tidak percaya kepada Tuhan.
Saya sering memperhatikan bagaimana orang-orang dewasa menghadapi suatu kejadian yang menyedihkan, misalnya saja saat seorang anak meninggal atau saat seseorang divonis menderita kanker. Orang dewasa seringkali menyatakan bahwa semua itu harus diterima dengan pasrah. Caranya dengan mengucapkan “God works in mysterious ways” (Tuhan bertindak dengan cara yang misterius), yang artinya kita tidak mungkin bisa memahami apa yang dilakukan oleh Tuhan, dan bertanya-tanya tentang hal itu hanya membuang waktu saja. Tuhan itu misterius dan kita tidak dapat memahami-Nya.
Lalu kalau Tuhan memang misterius, kenapa Dia memberikan akal pikiran kepada kita? Dengan kecerdasan dan kemampuan untuk berpikir logis, tentunya akan sangat masuk akal jika kita menggunakan kelebihan itu untuk memikirkan Tuhan. Seharusnya ada suatu ajaran dasar di dalam agama yang bisa ditelaah dan memang masuk akal. Kalau Tuhan memang ada, untuk apa Dia memberi ajaran-ajaran agama kepada manusia lalu membuat agama tersebut sulit dipahami secara akal?
Apakah Tuhan harus “misterius” jika Dia tidak menghendakinya? Dalam hal agama, bukankah Tuhan mampu menerima dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ciptaaan-Nya sendiri jika Dia berkehendak? Bagaimana jika sebenarnya Tuhan ingin agar kita mengenal-Nya (dalam batasan pemahaman kita tentunya) sehingga kita dapat menjadi lebih dekat dengan-Nya? Bagaimana jika Dia tidak menginginkan kita menganggap-Nya “misterius”?
Tidak disangsikan lagi, Tuhan itu tidak nampak bagi kita dan karenanya saya yakin jika kita menganalisa hal ini dengan seksama, boleh jadi kita akan menemukan suatu alasan logis mengapa Tuhan memilih untuk tidak menampakkan diri-Nya. Jika kita mampu menerima alasan ini, maka mungkin kita akan mampu memahami bahwa semua itu adalah untuk kebaikan kita sendiri dan bukan karena alasan-alasan “misterius”.
Dalam bab ini, saya ingin memberikan satu penjelasan yang logis mengenai kenapa Tuhan tidak ingin terlihat oleh kita, dan bagaimana hal itu merupakan rahmat bagi kita. Untuk membahas ini, kita harus mencermati kisah Nabi Adam as, manusia pertama yang diciptakan Allah, dan juga kisah Iblis. Sebelumnya, kita perlu membahas Nabi Musa as yang juga ingin melihat Allah.
2.1. Nabi Musa as Juga Ingin Melihat Tuhan
Saya sering mendengarkan penceramah Muslim di Indonesia bercerita tentang Nabi Musa as yang memohon untuk dapat melihat Allah. Dijelaskan kepada Nabi Musa as bahwa dia tidak akan sanggup melihat Tuhannya. Allah dapat saja berhenti sampai pada pernyataan itu, namun ternyata Allah berkehendak lain dan memberikan “bukti” kepada Nabi Musa as. Allah kemudian menampakkan diri di belakang sebuah gunung. Saat cahaya Allah mulai terlihat, gunung itu hancur luluh karena tidak sanggup menahan cahaya-Nya. Begitupun halnya dengan Nabi Musa as yang jatuh pingsan karena tidak sanggup melihat cahaya-Nya, seperti yang dijelaskan dalam Al Qur’an:
143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf 7:143)
Ayat ini memberikan kita suatu pemahaman bahwa manusia, termasuk Nabi, tidak boleh melihat Tuhan. Jika seorang Nabi Allah seperti Nabi Musa as saja tidak sanggup melihat Allah, manusia biasa seperti kita lebih tidak mungkin lagi berharap dapat melihat-Nya. Terlepas dari ketidaksanggupannya melihat Allah, kita mengetahui bahwa Nabi Musa as sanggup berdialog dengan-Nya. Selain Nabi Musa as , mahluk lain yang juga pernah berdialog dengan Allah adalah Iblis.
2.2. Kutukan Allah Atas Iblis
11. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.
12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab Iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
13. Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".
(QS. Al A’raf 7:11-13) [Penekanan Arti]
Dalam ayat-ayat ini kita diperkenalkan dengan suatu mahluk yang menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Mahluk ini dinamakan Iblis atau Shaitan di dalam Al Qur’an. Dalam bahasa Inggris, mahluk ini dikenal dengan sebutan the Devil, Satan, Lucifer, dan lain-lain. Dalam ayat-ayat di atas, kita dapat melihat sebuah situasi bagaimana Iblis membantah Allah dan menolak Perintah Langsung-Nya untuk bersujud dan menunjukkan rasa hormat kepada Nabi Adam as. Dengan begitu, penolakan atas perintah Allah yang dilakukan Iblis merupakan tindakan kesombongan yang sangat terhadap Allah SWT, dan inilah alasan mengapa Iblis mendapat hukuman.
34. Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk,
35. dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat".
(QS. Al Hijr 15:34-35)
Dengan menolak perintah-Nya, Iblis menjadi mahluk pertama yang dikutuk untuk selama-lamanya. Kejadian ini sangat istimewa karena ini pertama kali (sepanjang pengetahuan kita) bahwa ada mahluk yang dikutuk untuk selama-lamanya. Dan sekali lagi kejadian ini juga istimewa karena pengutukan sepanjang masa ini juga tidak terulang lagi di dalam Al Qur’an. Ayat di atas hanya menyebutkan kutukan Allah sampai dengan Hari Kebangkitan, tetapi setelah itu, Iblis akan dilemparkan ke dalam neraka (bersama dengan siapapun yang mengikutinya) sehingga kutukan dan hukumannya akan menjadi abadi.
Pertanyaan yang relevan adalah kenapa Iblis langsung mendapatkan kutukan dari Allah dan kemudian hukuman dari Allah itu ditangguhkan sampai hari kiamat? Pada saat dinyatakan sebagai mahluk yang terkutuk, sangat menarik bahwa Iblis tidak protes. Dia tidak menuduh bahwa Tuhan tidak adil. Tidak ada bantahan Iblis di dalam Al Qur’an bahwa dia tidak bersalah dan tidak pantas mendapat hukuman yang begitu berat. Kalau seorang manusia mendapat hukuman yang sama, saya pikir siapa saja pasti akan protes dan mencari jalan keluar dari hukuman tersebut. Sebaliknya, Iblis ternyata langsung menerima hukumannya, tetapi dengan meminta agar hukuman itu ditangguhkan sampai hari kiamat supaya ada waktu untuk menyesatkan manusia dan membuktikan bahwa ia lebih baik dari manusia.
14. Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".
15. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."
16. Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
17. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).
18. Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya".
(QS. Al A’raf 7:14-18)
Yang jelas, sekarang Iblis mempunyai keinginan dengan cara apapun untuk mengajak bani Adam mengikutinya masuk neraka, supaya dia bisa membuktikan kepada Allah SWT bahwa dia memang lebih baik daripada Adam as. Sekarang, ada suatu keadaan yang menarik. Allah telah mengutuk Iblis, tetapi alih-alih langsung melemparkannya ke dalam neraka, Allah malah memberikan waktu kepadanya untuk menyesatkan manusia yang mau mengikutinya.
Jika kita meyakini Allah selalu mengetahui semua hal yang akan terjadi, berarti Allah juga mengetahui kalau Iblis akan menunjukkan kesombongannya, menjadi mahluk terkutuk, dan kemudian akan diberi waktu untuk menyesatkan manusia yang mau mengikutinya. Jika hal itu memang benar, berarti kita harus menerima kenyataan bahwa keberadaan Iblis beserta para pengikutnya, dan pengaruh mereka terhadap manusia adalah suatu hal yang telah diketahui Allah sebelumnya, dan Allah membiarkan hal itu terjadi atas kehendak-Nya. (Allah tidak menyebabkan Iblis membangkang, tetapi hanya membiarkannya terjadi). Kita harus meyakini bahwa semua kejadian hanya dapat berlangsung sesuai dengan Izin Allah. Jika Allah tidak berkehendak, maka bagaimana mungkin suatu hal dapat terjadi? Jika sesuatu bisa terjadi terjadi tanpa Izin Allah, berarti Allah bukan Yang Maha Kuasa, tetapi kita semua mengetahui Dia lah yang Maha Kuasa.
29. Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Ali Imran 3:29)
Jadi, di dalam sorga ada Nabi Adam as bersama Hawa, dan juga Iblis! Iblis (yang setelah dikutuk disebut sebagai Shaitan dalam Al Qur'an) tidak lagi memiliki tujuan hidup kecuali menyesatkan keturunan bani Adam agar sebanyak mungkin akan menemaninya masuk neraka. Dengan Izin Allah (karena tidak mungkin terjadi tanpa Izin Allah) Iblis bisa masuk sorga untuk mengganggu Adam as dan Hawa, dan dia berhasil. Dia meyakinkan mereka untuk makan buah yang terlarang, yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari sorga dan ditempatkan di bumi.
35. Dan Kami berfirman:"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
36. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:"Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
(QS. Al Baqarah 2:35-36)
Dalam kasus ini, Iblis hanya melakukan satu kesalahan saja dan sebagai akibatnya, dia dikutuk sepanjang masa. Kesalahan Nabi Adam as dan Siti Hawa juga hanya satu, dan sebagai akibatnya mereka dikeluarkan dari sorga tapi tidak dikutuk sepanjang masa. Kenapa ada perbedaan seperti itu di dalam kedua kasus ini?
Mungkin satu hal yang mempengaruhi hukuman dari Allah ini adalah kenyataan bahwa hanya Iblis yang membantah Allah. Pada saat Adam as dan Hawa diberitahu kalau mereka telah berbuat salah, mereka langsung bertaubat dan mohon ampunan. Sebaliknya, Iblis tidak mau bertaubat dan tidak juga meminta ampunan.
37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(QS. Al Baqarah 2:37)
Maka sekarang kita dapat melihat dua kasus yang jelas dimana Adam as dan Iblis masing-masing membuat satu kesalahan dan mereka dihukum karena kesalahan itu, meskipun Iblis dihukum dengan lebih berat. Untuk dapat memahami
bagaimana hal ini berkaitan dengan topik yang tengah dibahas, yaitu mengapa Allah tidak nampak bagi kita untuk suatu alasan logis, maka kita juga perlu menguji satu kasus lagi; kasus pembunuh 100 orang yang mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya.
2.3. Iblis, Nabi Adam as, Dan Pembunuh 100 Orang.
Ada sebuah hadith yang menceritakan riwayat seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang akan tetapi pada saat dia meninggal, dia sudah berniat untuk bertaubat dan memperbaiki diri, maka dosanya diampuni.
Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri:
Nabi bersabda, “Di antara kaum lelaki Bani Israel ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Lalu dia berjalan dan bertanya kepada orang yang dijumpai (apakah taubatnya bisa diterima atau tidak). Dia menemukan seorang biarawan dan bertanya kepadanya apakah taubatnya bisa diterima. Si biarawan memberi jawaban yang negatif, jadi pria itu membunuhnya. Dia bertanya terus sampai ada seseorang yang menasehatinya untuk pergi ke sebuah desa. (Lalu dia berangkat ke arah desa tersebut) tetapi kematian menjumpainya dalam perjalanan itu. Pada saat akan meninggal dunia, dia membalikkan dadanya ke arah desa tersebut (di mana dia berharap taubatnya akan diterima), maka malaikat pencatat kebaikan dan malaikat pencatat keburukan bertengkar tentang si pembunuh. Allah perintahkan desa (yang dia tuju itu) untuk mendekatkan diri kepadanya, dan perintahkan desa (yang dia tinggalkan) untuk menjauhinya. Lalu Allah perintahkan para malaikat untuk mengukur jarak antara badan orang itu dan kedua desa tersebut. Apakah lebih dekat ke desa pertama ataukah lebih dekat ke desa kedua. Diketahui bahwa dia sedikit lebih dekat ke desa (yang dia tuju). Jadi dia diampuni.
(Sahih Bukhari, Jilid 4, Buku 56, Nomor 676)[1]
Pertanyaan pentingnya, mengapa seorang manusia yang telah membunuh 100 orang bisa mendapatkan pengampunan atas dosanya? Diampuni oleh Allah berarti taubatnya diterima, dan dia tidak akan dihukum atas dosa tersebut. Padahal dua orang sebelumnya (Adam dan Hawa) yang hanya makan “satu buah” tetap dihukum atas dosanya walaupun telah diampuni. Lalu, satu mahluk yang hanya “membantah” tidak diampuni dosanya, dan tetap dihukum dengan hukuman yang sangat berat. Yang jelas, si pembunuh itu belum sempat bertaubat (secara formal), karena dia sedang mencari sebuah tempat dimana taubatnya akan diterima. Akan tetapi, dia sangat mengharapkan ampunan dari Allah. Nabi Adam as memang bertaubat dan taubatnya diterima, tetapi dia masih kena hukuman. Iblis tidak bertaubat dan sepertinya tidak ingin bertaubat. Dia kena hukuman yang paling keras dari tiga kasus ini. Jadi apa perbedaan antara ketiga individu ini?
Ketiga kasus terpisah ini kini dibagi menjadi dua kategori yang berbeda. Di satu sisi, ada seorang pembunuh yang dosa-dosanya diampuni dan tidak menerima hukuman apapun. Di sisi yang lain, ada Nabi Adam as dan Iblis yang keduanya menerima hukuman atas masing-masing satu perbuatan dosa yang mereka lakukan, meskipun dosa mereka itu tidak seberat dosa membunuh.
Jika kita ingin mencari satu alasan logis mengapa kita tidak bisa melihat Allah, maka saya yakin alasan itu dapat ditemukan dengan membandingkan kedua kategori ini. Kita perlu menemukan satu alasan mengapa seorang pembunuh dapat terbebas dari hukuman setelah membunuh 100 orang, kemudian mengapa Nabi Adam as dan Iblis yang masing-masing hanya melakukan satu perbuatan dosa tetap mendapatkan hukuman dari Allah.
2.4. Tuhan Tidak Nampak
Saya ingin bertanya kenapa Nabi Adam as dihukum, Iblis dihukum, tetapi seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang tidak dihukum? Perbedaannya hanya satu: si pembunuh itu tidak memiliki bukti bahwa Tuhan benar-benar ada! Dia tidak pernah melihat Allah atau berbicara dengan-Nya. Sebaliknya, Nabi Adam as dan Iblis memang berbicara dengan Allah. Pembunuh itu percaya kepada Tuhan hanya berdasarkan pada keimanan, yang berarti dia percaya walaupun tidak melihat (dan tentu saja tidak bicara dengan Tuhan).
Apakah Adam dan Iblis percaya kepada Allah karena mereka melihatnya? Secara teoretis, kita bisa berargumentasi bahwa ada kemungkinan Adam dan Iblis melihat Allah dengan penglihatan matanya, tetapi teori ini bisa diragukan oleh karena ayat yang terkutip di atas, di mana Nabi Musa as memohon untuk melihat Allah, tetapi pada saat Allah menampakkan Diri di belakang sebuah gunung, maka gunung luluh dan Nabi Musa as jatuh pingsan (lihat QS. Al A’raf 7:143). Kalau Nabi Musa as tidak sanggup melihat Allah, maka kita bisa berargumentasi bahwa seharusnya Nabi Adam as dan Iblis juga tidak sanggup.
Sebuah hadith yang lain juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah melihat Allah dengan matanya sendiri sebagaimana berikut:
Diriwayatkan oleh Masruq:
Saya sedang istirahat di rumah A’ishah ketika dia mengatakan: “Wahai Abu A’ishah [nama kehormatan untuk Masruq], ada tiga perkara yang, bilamana ada seseorang yang membenarkannya, maka dia telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah. Saya bertanya apakah tiga perkara itu. Dia menyatakan: Dia yang menganggap bahwa Muhammad saw melihat Tuhannya (dengan penglihatan matanya) telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah…”
(Sahih Muslim, Nomor 259) [2] [Penekanan Arti]
Kalau Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw tidak pernah melihat Allah dengan matanya, maka sangat wajar kalau kita berasumsi bahwa mahluk terlaknat seperti Iblis juga tidak bisa melihat-Nya. Berdasarkan pada informasi ini, kita bisa beranggapan bahwa sangat kecil kemungkinan Nabi Adam as dan Iblis melihat Allah. Akan tetapi, yang jelas sekali adalah mereka berbicara dengan Allah. Di Surah Al A’raf (QS. 7:22-23), Nabi Adam as berbicara langsung dengan Allah untuk mohon ampun kepada-Nya atas kesalahannya memakan buah terlarang. Di dalam Surah Al A’raf (QS. 7:11-16) juga terdapat dialog antara Allah SWT dan Iblis.
Oleh karena Nabi Adam as dan Iblis pernah berdialog secara langsung dengan Allah, maka sangat jelas bahwa tidak ada keraguan dalam diri mereka bahwa Tuhan itu memang ada. Mereka percaya kepada Allah tidak didasarkan keyakinan atau keimanan saja. Mereka percaya kepada Allah karena mereka telah mendapatkan bukti bahwa Allah Yang Maha Esa memang ada. Pengetahuan ini menempatkan mereka pada posisi yang sangat istimewa dan mungkin bisa membuat kita iri. Bagaimanapun juga, kita harus melihat konsekuensi yang timbul dari keistimewaan ini. Nabi Adam as dan Iblis percaya pada Allah dan keduanya tidak patuh pada-Nya. Nabi Adam as mengakui kesalahannya dan dikeluarkan dari sorga sebagai hukumannya. Sementara Iblis tidak memilih untuk mengakui kesalahannya dan tidak meminta ampun sehingga ia dikutuk sampai akhir zaman.
Sebagai perbandingan, si pembunuh 100 orang berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal ampunan. Dia harus percaya kepada Allah SWT dan percaya pada ampunan Allah didasarkan pada keimanan, bukan karena ada bukti nyata di depan mata bahwa Allah memang ada. Hal ini membuka kemungkinan dan kesempatan yang lebih besar bagi dia untuk mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang diperbuatnya. Sepanjang hidupnya, si pembunuh tidak mengenal Tuhan, mungkin karena dia tidak percaya pada Tuhan. Dia melakukan kejahatan karena dia tidak menyadari keberadaan Tuhan atau apa yang sang Pencipta inginkan darinya. Ketika akhirnya dia menjadi sanggup percaya, semata-mata berdasarkan keimanannya, dia meyakini Tuhan Yang Maha Kuasa akan menerima taubatnya dan mengampuni segala dosanya. Dia tidak melihat Tuhan ataupun berbicara dengan-Nya. Mungkin sebagai hasil dari “keimanannya” itu, dia menemukan Allah sebagai Sang Maha Pengampun.
Tidak ada jaminan bila kita dapat melihat Allah maka kita akan setuju untuk menyembah-Nya. Hanya karena melihat dan mengetahui bahwa Dia ada tidak berarti bahwa kita akan setia. Pada saat ini, kita percaya pada Allah, tetapi percaya bahwa Allah memang “ada” tidak berarti kita akan langsung menuruti-Nya dan masuk sorga dengan mudah. Sebagai contoh, Iblis juga percaya pada Allah tetapi dia tidak setia dan tidak mau beribadah kepada-Nya. Jika kita bisa melihat Allah, ada kemungkinan kita akan seperti Iblis (membantah dengan Allah) dan kesempatan untuk mendapat pengampunan atas dosa-dosa kita akan menjadi kecil sekali.
Apakah anda benar-benar mau melihat Allah? Atau mendengarkan suara-Nya? Saya tidak mau dan tidak ingin lagi. Tidak ingin lagi melihat-Nya jika itu berarti saya akan mendapatkan masalah besar karena satu perbuatan dosa.
Saat masih kecil, saya ingin sekali melihat Tuhan sebagai bukti bahwa Tuhan itu nyata, dan tampaknya saya bukanlah satu-satunya orang yang ingin melihat Tuhan secara langsung. Orang-orang yang tidak beriman yang menolak Nabi Muhammad saw juga menuntut hal yang sama:
90. Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami,
91. atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya,
92. atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami.
93. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca." Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?"
(QS. Al Isra 17:90-93) [Penekanan Arti]
Kalau seandainya keinginan saya dari waktu kecil terwujud, dan sudah pernah melihat Allah (setelah Dia menampakkan Diri) atau setidaknya telah mendengar Suara-Nya, maka saya sudah menjadi seorang manusia yang masuk kategori yang sama dengan Nabi Adam as. Masuk ke dalam kategori itu mengandung konsekuensi yang sangat jelas: sekali berbuat salah, langsung kena hukuman berat. Sebagai seorang manusia biasa, saya memang melakukan dosa terus, dan dosa saya bertambah setiap saat, tanpa terasa. Berarti kalau saya masuk kategori Nabi Adam as maka saya ragu masih bisa hidup sampai sekarang ini tanpa menghadapi masalah besar; sudah pasti saya telah dijatuhi hukuman berat disebabkan dosa-dosa yang telah saya perbuat.
Lebih jauh, jika saya masuk kedalam kategori Nabi Adam as dan Allah menjadi marah kepada saya disebabkan dosa pertama saya, apakah saya akan sama seperti Nabi Adam as yang langsung bertaubat dan mohon ampunan? Atau apakah saya akan lebih mirip Iblis dan berprotes? Kalau saya mengikuti sikap sombong Iblis, akankah hukuman yang saya terima sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Iblis – dilaknat sampai hari kiamat?
Kita semua sibuk mengumpulkan dosa setiap hari, tetapi berapa banyak dari kita yang bertaubat setiap hari? Bayangkan sekali berbohong, sekali mengingkari janji, sekali mengambil sesuatu tanpa hak, sekali memfitnah orang, sekali melakukan sesuatu yang tidak diridhoi Allah. Apakah itu sudah cukup untuk membuat kita terkena masalah? Jika kita bisa melihat Allah dan mendengar Suara-Nya setiap waktu, kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa Allah memang ada. Apakah anda ingin melihat Allah jika hal itu berarti anda akan mendapatkan hukuman langsung hanya untuk satu dosa yang anda perbuat? Saya tidak mau!
Kalau kita membandingkan kasus Nabi Adam as, Iblis, dan si pembunuh, apa yang dapat kita simpulkan? Nampaknya jika kita tidak bisa melihat Allah dan tidak dapat berbicara secara langsung dengan-Nya, maka kita ada di posisi yang lebih baik dibandingkan mereka yang dapat melihat-Nya atau berbicara dengan-Nya. Sepertinya, Allah lebih siap mengampuni orang yang hanya sebatas percaya kepada-Nya daripada orang yang mengetahui bahwa Allah benar-benar ada (karena pernah mendapatkan bukti nyata). Kalau ada seseorang yang pernah berbicara dengan Allah, maka orang itu sudah mengetahui Kebesaran dan Keesaan Allah. Orang itu sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menuruti Perintah Allah dan selanjutnya, orang itu juga akan mendapatkan kemurkaan yang lebih besar ketika melakukan satu dosa dibanding mereka yang hanya percaya karena keimanannya.
Jika kita beriman walaupun belum pernah melihat Allah atau mendengarkan suara-Nya, maka kita masih bisa beralasan atas perbuatan-perbuatan kita yang kurang baik: saya lupa, saya sibuk, uang saya kurang, saya belum bisa, lagi hujan, besok saja, nanti malam, dan seterusnya. Dan kita mendapatkan pengampunan yang tidak terbatas di sisi Tuhan kita, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, bagi kita yang hanya percaya kepada-Nya.
53. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Az-Zumar 39:53) [Penekanan Arti]
Kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat Allah merupakan suatu nikmat dan rahmat besar bagi kita sebagai manusia biasa yang banyak berbuat dosa setiap hari. Sebab, kalau kita bisa melihat Allah, sanksinya akan sangat berat. Barangkali kesempatan kita untuk berbuat dosa hanya satu kali saja, dan setelah itu kita akan dihukum dengan hukuman yang terasa sangat berat bagi kita. Justru karena Allah menyayangi kita, Dia tidak menampakkan Diri kepada kita dan kita harus percaya. Dengan demikian, dosa kita yang sungguh banyak bisa terus diampuni dan Dia selalu memberikan kita sebuah kesempatan baru untuk memperbaiki diri. Selama kita masih percaya kepada-Nya!
Wassalam
Gene
sumber : semuabisnis.com
kekuatan-sedekah
menyikapi-kesulitan-hidup
menghiasi-hati-dengan-menangis
menjelang-sakaratul-maut-sebuah-akhir-dari-kehidupan
tentang-kehancuran-bumi-ditahun-2052
Renungan-untuk-suami-suami-bila-istri-cerewet
tentang-luasnya-neraka
ketika-iblis-membentangkan-sajadah
jembatan-maaf
perjalanan-spiritual-seorang-mualaf-ingin-melihat-Tuhan
12-barisan-diakhirat
kisah-nyata-mati-suri
dashyatnya-proses-sakaratul-maut
perjalanan-menuju-kematian
sesaat-setelah-ruh-dicabut
alam-kubur--alam-ke5-dari-14alam-yang-akan-kita-lewati
Tujuh-tingkatan-nafsu
bagaimana-cara-mengenal-nafsu-dan-cara-mengendalikannya
islam-yang-kuat-dan-pemeluknya-yang-lemah
Ilmu-yang-sia-sia
ternyata-ikhlas-itu-memiliki-saudara-kembar
kebangkitan-islam-yang-kedua
tanda-tanda-kiamat
tentang-dajjal
tanda-tanda-kiamat
12-azab-bagi-mereka-yang-meninggalkan-sembahyang
orang-orang-yang-didoakan-oleh-para-malaikat
bulan-yang-terbelah
jual-beli-saham-itu-haram-mengapa?
kekuatan-tersembunyi-petir
perang-salib
kapan-berdoa-dengan-mengangkat-tangan
mengatur-hari-hari-agar-penuh-barokah
kemana-engkau-akan-melangkah
kebodohan-merupakan-sifat-penghuni-neraka
perihal-pertanyaan-kubur-oleh-malaikat
bagaimana-agar-turun-pertolongan-dari-allah-swt
hukum-hukum-yang-berkaitan-dengan-jambang-dan-jenggot
janji-allah-swt-bagi-orang-yang-akan-menikah
suatu-kekayaan-yang-tiada-habis
hukum-nikah-dalam-keadaan-hamil
pria-mendapatkan-bidadari-disurga-lalu-wanita-mendapatkan-apa
hukum-majalah-porno-dan-bahaya-nya
membongkar-kesesatan-dan-kedustaan-achmadiyah
74-wasiat-untuk-para-pemuda
apakah-sunnah-bagi-laki-laki-memanjangkan-rambutnya
No comments:
Post a Comment